Pertama kali saya melihat perempuan ini hati saya langsung nelangsa serta iba. Ada rasa tak tega yang menyempit dalam relung hati kecil saya. Baik itu untuk melihatnya maupun menatapnya lebih dalam lagi. Karena ketika saya memperhatikan perempuan ini secara seksama saya sangat takjub dan tak percaya karena dengan keterbatasannnya itu ia bisa bebas “keluar” dari hidupnya yang memiliki kekurangan itu. Ya, saat saya sedang melihat perempuan tua buta ini ia sedang mencari-cari bus yang akan ia tumpangi nantinya—tentunya sambil bertanya kepada semua orang. Bus mana yang akan mengantarkan dirinya ke tujuannya itu.
Kebetulan saat saya sedang bercakap-cakap dengan kawan saya perempuan tua buta ini secara tak sengaja ia menyampari kami saat itu yang masih berada di terminal Blok-M. Dan perempuan tua buta itu pun bertanya kepada saya. Entah karena (mungkin) semua orang yang ia tanya itu tak bersedia dan memperdulikan apa yang ia maksudkan kemudian ia beralih kepada saya dan kawan saya itu. Entahlah. Tapi saya bersyukur ia bisa meminta bantuan kepada kami yang saat itu masih bercakap-cakap di terminal itu.
“Mas, nanti tolong berhentikan bus yang mau ke arah Cimone ya,” pintanya kepada saya sambil memegang sandarannya. Yakni, berupa tongkat sebagai penunjuk sekaligus alat untuk mempermudah ia berjalan.
“Oh, nantinya ya Bu! Soalnya bus yang mau ke arah Cimone belum kelihatan,” timpal kawan saya yang sejak tadi menjadi lawan bicara saya. Kebetulan ia bertanya kepada saya saat kami itu sedang menunggu bus juga.
“Ya sudah ibu disini saja nanti kami yang mencarikan busnya. Ibu tenang saja ya?” jawab kami berdua berempati dengan apa yang dialami perempuan tua buta itu.
Akhirnya kami pun melakukan aksi masing. masing. Yup, mencari dan menunggu bus yang menuju arah yang dikatakan perempuan tua buta tadi kepada kami berdua. Celangak-celinguk pun tak luput dari kerjaan kami malam itu di terminal. Mencari bus yang menuju ke Cimone.
Lama. Kami menunggu bus yang mengantarkan perempuan tua buta itu. Walau pun bus yang kami akan tumpangi itu sudah hilir mudik di depan mata saya. Tapi kami tak memperdulikan itu. Bus yang akan kami tumpangi itu sudah siap membawa kami ke tujuan masing-masing. Dikarenakan di depan mata kami ada seorang anak manusia yang (harus) wajib ditolong oleh kami berdua. Tanpa menolak! Perempuan tua buta. Akhirnya kami pun mengacuhkan bus yang akan membawa kami masing-masing ke tujuan. Karena kami tak tega meninggalkan perempuan tua buta itu sendirian menyetop atau memberhentikan bus yang akan membawa ia sampai ke tujuannya.
Akhirnya kami pun sibuk mencari-cari bus yang menuju ke arah Cimone di terminal Blok-M itu malam hari. Arah perempuan tua buta yang ia katakan kepada saya saat kami sedang bercakap-cakap. Arah yang akan ia tuju. Satu persatu kami memperhatikan setiap bus yang melewati kami. Kami amati secara seksama dan hati-hati satu persatu bus yang lalu lalang dihadapan kami. Maklum suasana saat itu sudah malam dan redup. Cahaya lampu terminal begitu minim memberi penerangan. Jadi kami harus ekstra hati-hati melihat angka di kaca bus yang akan menuju Cimone itu. Arah yang perempuan tua buta itu tunjukan kepada kami. Dan juga kebetulan pula saat itu kami juga usai merapungkan sebuah amanat di sebuah foodcourt yang masih berada di kawasan itu. Kawasan Blok-M. Dan amanah itu baru kami selesaikan usai ba’da Isya hingga di terminal susana pun (tak terasa) sudah malam.
Satu persatu bus melewati kami. Kami pun tak sampai melewatkan kesempatan itu. Kami berdua terus melihat dengan seksama kalau-kalau bus yang dimaksud sudah terlewatkan. Namun sambil menunggu bus yang akan perempuan tua buta itu tumpangi saya masih memperhatikannya. Saya lihat dan lihat lagi. Ternyata memang benar apa yang saya pikirkan di benak saya bahwa perempuan buta itu usai mencari nafkah. Yakni dengan keahliannya sebagai pemijit tuna netra. Entah itu untuk siapa? Saya sendiri kurang tahu? Apakah untuk dirinya,anaknya atau keluarganya saya pun tak mengtahui hal itu. Dan itu lebih baik daripada saya terlalu banyak bertanya dengannya! Tapi bagi saya melihat keadaan perempuan tua buta itu saya jadi berpikir. “Orang buta saja bisa mencari rezeki dengan keterbatasannya. Tapi kok saya ini sulit sekali mencari-cari pekerjaan sana-sini (baca: rezekiNya),” gumam saya menerawang jauh. Padahal saya (sempat) sudah putus asa dan tidak berpikir kesana bahwa Allah menciptakan hambanya itu sesuai dengan kemampuannya. Bayangkan saja saya ini hanya tamatan Diploma Satu sudah sana kemari mencari pekerjaan tak satu pun surat lamaran saya diterima atau pun menerima tanggapan dari perusahaan yang saya tuju itu. Kalau pun ada itu bagi yang berpengalaman. Itulah yang saya renungkan saat saya melihat dan memperhatikan perempuan tua buta itu kembali. “Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan jalan keluar baginya. Dan memberikan rezeki kepadanya dari arah yang tidak disangka-sangkanya.” (QS. Ath-Thalaq: 2)
“Bu…, ibu mau kemana?” tanya seseorang kepada perempuan tua buta itu. Entah ia kondektur atau penumapng saya sendiri juga kurang tahu. Tapi saya bersyukur dengan bantuannya perempuan tua buta itu bisa tertolong dengan bantuannya.
“Mau ke Cimone,” jawab perempuan tua buta itu lantang.
“Ya, sudah ini busnya.”
Alhamdullilah, akhirnya perempuan tua buta itu bisa menemukan dan bisa tertolong dengan bus yang akan membawa dirimya ke tujuannya. Itu pun lantaran bantuan orang tadi. Coba kalau tidak mungkin perempuan tua buta itu lama menunggu. Begitu juga saya dan kawan saya saat itu. Walau pun kami berdua sudah membantunya untuk mencari bus yang akan membawanya pula. Dan saya pun masih dalam lamunan saya dengan segala tanda tanya dibenak saya. Ternyata Allah Maha Adil dan Maha Melihat segala umatnya yang sedang mencari rezeki dan berusaha.
Satu dalam benak saya yang masih tetinggal seusai perempaun tua buta itu meninggalkan kami berdua di terminal. Apakah saya nanti bisa setabah dan se-survive perempuan tua buta itu? Mejalani hidup ini dengan tabah dan bersyukur. Itu yang masih tertinggal di benak saya! Entahlah. Semoga saja Allah mau menolong hambanya ini. Amin!
By Fiyan Arjun
Kebetulan saat saya sedang bercakap-cakap dengan kawan saya perempuan tua buta ini secara tak sengaja ia menyampari kami saat itu yang masih berada di terminal Blok-M. Dan perempuan tua buta itu pun bertanya kepada saya. Entah karena (mungkin) semua orang yang ia tanya itu tak bersedia dan memperdulikan apa yang ia maksudkan kemudian ia beralih kepada saya dan kawan saya itu. Entahlah. Tapi saya bersyukur ia bisa meminta bantuan kepada kami yang saat itu masih bercakap-cakap di terminal itu.
“Mas, nanti tolong berhentikan bus yang mau ke arah Cimone ya,” pintanya kepada saya sambil memegang sandarannya. Yakni, berupa tongkat sebagai penunjuk sekaligus alat untuk mempermudah ia berjalan.
“Oh, nantinya ya Bu! Soalnya bus yang mau ke arah Cimone belum kelihatan,” timpal kawan saya yang sejak tadi menjadi lawan bicara saya. Kebetulan ia bertanya kepada saya saat kami itu sedang menunggu bus juga.
“Ya sudah ibu disini saja nanti kami yang mencarikan busnya. Ibu tenang saja ya?” jawab kami berdua berempati dengan apa yang dialami perempuan tua buta itu.
Akhirnya kami pun melakukan aksi masing. masing. Yup, mencari dan menunggu bus yang menuju arah yang dikatakan perempuan tua buta tadi kepada kami berdua. Celangak-celinguk pun tak luput dari kerjaan kami malam itu di terminal. Mencari bus yang menuju ke Cimone.
Lama. Kami menunggu bus yang mengantarkan perempuan tua buta itu. Walau pun bus yang kami akan tumpangi itu sudah hilir mudik di depan mata saya. Tapi kami tak memperdulikan itu. Bus yang akan kami tumpangi itu sudah siap membawa kami ke tujuan masing-masing. Dikarenakan di depan mata kami ada seorang anak manusia yang (harus) wajib ditolong oleh kami berdua. Tanpa menolak! Perempuan tua buta. Akhirnya kami pun mengacuhkan bus yang akan membawa kami masing-masing ke tujuan. Karena kami tak tega meninggalkan perempuan tua buta itu sendirian menyetop atau memberhentikan bus yang akan membawa ia sampai ke tujuannya.
Akhirnya kami pun sibuk mencari-cari bus yang menuju ke arah Cimone di terminal Blok-M itu malam hari. Arah perempuan tua buta yang ia katakan kepada saya saat kami sedang bercakap-cakap. Arah yang akan ia tuju. Satu persatu kami memperhatikan setiap bus yang melewati kami. Kami amati secara seksama dan hati-hati satu persatu bus yang lalu lalang dihadapan kami. Maklum suasana saat itu sudah malam dan redup. Cahaya lampu terminal begitu minim memberi penerangan. Jadi kami harus ekstra hati-hati melihat angka di kaca bus yang akan menuju Cimone itu. Arah yang perempuan tua buta itu tunjukan kepada kami. Dan juga kebetulan pula saat itu kami juga usai merapungkan sebuah amanat di sebuah foodcourt yang masih berada di kawasan itu. Kawasan Blok-M. Dan amanah itu baru kami selesaikan usai ba’da Isya hingga di terminal susana pun (tak terasa) sudah malam.
Satu persatu bus melewati kami. Kami pun tak sampai melewatkan kesempatan itu. Kami berdua terus melihat dengan seksama kalau-kalau bus yang dimaksud sudah terlewatkan. Namun sambil menunggu bus yang akan perempuan tua buta itu tumpangi saya masih memperhatikannya. Saya lihat dan lihat lagi. Ternyata memang benar apa yang saya pikirkan di benak saya bahwa perempuan buta itu usai mencari nafkah. Yakni dengan keahliannya sebagai pemijit tuna netra. Entah itu untuk siapa? Saya sendiri kurang tahu? Apakah untuk dirinya,anaknya atau keluarganya saya pun tak mengtahui hal itu. Dan itu lebih baik daripada saya terlalu banyak bertanya dengannya! Tapi bagi saya melihat keadaan perempuan tua buta itu saya jadi berpikir. “Orang buta saja bisa mencari rezeki dengan keterbatasannya. Tapi kok saya ini sulit sekali mencari-cari pekerjaan sana-sini (baca: rezekiNya),” gumam saya menerawang jauh. Padahal saya (sempat) sudah putus asa dan tidak berpikir kesana bahwa Allah menciptakan hambanya itu sesuai dengan kemampuannya. Bayangkan saja saya ini hanya tamatan Diploma Satu sudah sana kemari mencari pekerjaan tak satu pun surat lamaran saya diterima atau pun menerima tanggapan dari perusahaan yang saya tuju itu. Kalau pun ada itu bagi yang berpengalaman. Itulah yang saya renungkan saat saya melihat dan memperhatikan perempuan tua buta itu kembali. “Dan barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan jalan keluar baginya. Dan memberikan rezeki kepadanya dari arah yang tidak disangka-sangkanya.” (QS. Ath-Thalaq: 2)
“Bu…, ibu mau kemana?” tanya seseorang kepada perempuan tua buta itu. Entah ia kondektur atau penumapng saya sendiri juga kurang tahu. Tapi saya bersyukur dengan bantuannya perempuan tua buta itu bisa tertolong dengan bantuannya.
“Mau ke Cimone,” jawab perempuan tua buta itu lantang.
“Ya, sudah ini busnya.”
Alhamdullilah, akhirnya perempuan tua buta itu bisa menemukan dan bisa tertolong dengan bus yang akan membawa dirimya ke tujuannya. Itu pun lantaran bantuan orang tadi. Coba kalau tidak mungkin perempuan tua buta itu lama menunggu. Begitu juga saya dan kawan saya saat itu. Walau pun kami berdua sudah membantunya untuk mencari bus yang akan membawanya pula. Dan saya pun masih dalam lamunan saya dengan segala tanda tanya dibenak saya. Ternyata Allah Maha Adil dan Maha Melihat segala umatnya yang sedang mencari rezeki dan berusaha.
Satu dalam benak saya yang masih tetinggal seusai perempaun tua buta itu meninggalkan kami berdua di terminal. Apakah saya nanti bisa setabah dan se-survive perempuan tua buta itu? Mejalani hidup ini dengan tabah dan bersyukur. Itu yang masih tertinggal di benak saya! Entahlah. Semoga saja Allah mau menolong hambanya ini. Amin!
By Fiyan Arjun
Tidak ada komentar:
Posting Komentar