DI TITIK NOL KILOMETER
Oleh: Retnadi Nur’aini
Titik nol kilometer tidak berupa sebuah menara.
Juga tidak berwujud sebuah tugu peringatan, dengan papan nama yang dipancang permanen, tempat orang-orang bisa berfoto bersama. Dimana nanti mereka bisa memajang foto mereka yang berbingkai perak dengan rasa bangga di ruang tamu, demi bisa menepuk dada dan berkata kepada setiap pengunjung temporernya “Oh ya, saya pernah kesana. Ke titik nol kilometer dunia.” Berusaha sekuat tenaga mengundang decak kagum dan antusiasme basa-basi di sela-sela dentingan cangkir teh dan kopi.
Bukan itu.
Karena sebenarnya, titik nol kilometer lebih berupa sebuah hutan. Atau tepatnya, sebuah rimba yang demikian luasnya, dimana akar-akar pohon tertua di dunia terurai seperti lebatnya rambut yang tumbuh di kepala. Sementara pohon-pohon berdaun lebar berlomba mencapai angkasa, saling sikut, saling dorong, saling sandung, saling libas, saling tebas, saling gilas, saling lindas, saling tepuk, saling tindih, saling tumpuk. Tapi juga sekaligus saling taut, saling pagut, saling rangkul, saling tarik, saling peluk.
Yang membuat kegelapan menjadi begitu pekatnya di titik nol kilometer. Karena setiap lembar daun yang lebar kelewat sibuk berkutat dalam hubungan cinta-benci mereka, tanpa pernah sekalipun bisa beranjak untuk pergi. Atau setidaknya menyingkir, menyilakan sedikit sinar matahari untuk mampir, agar bisa memerahkan permukaan tanah yang lembab, dan menghangatkan tulang-tulang yang bergemeletukan dari bibir-bibir yang tanpa henti mengepulkan uap.
******
Titik nol kilometer bukanlah satu objek wisata.
Orang tidak suka cita pergi ke sana untuk tamasya, dengan menumpang kapal feri di akhir pekan, menenteng keranjang piknik berisi setumpuk sandwich isi daging asap diolesi mustard, ditemani sebotol besar limun dingin.
Pada kenyataannya, justru banyak orang yang lupa bagaimana caranya mereka bisa mencapai titik nol kilometer. Sebagian mengaku, mereka sedang menyetir hidup mereka dengan kecepatan rata-rata—sekitar 60-70km/jam—untuk kemudian seketika tiba di titik nol kilometer. Sebagian bercerita bahwa mereka sedang menyetir hidup mereka dengan kecepatan tinggi—mungkin sekitar 270-300km/jam— dan wush!, mereka terbang ke sana. Ke titik nol kilometer, dimana kisah ngebut-nekat- rayakan-hidup- hari-ini milik mereka disimak dengan tekunnya oleh sekelompok orang yang bahkan tak punya kendaraan pribadi untuk mengendarai hidup mereka sendiri. Yang membuat kelompok ini terpaksa berdesakan setiap pagi dan petang dalam angkutan umum, bermandi peluh dan letih, dengan penghiburan mengenyangkan diri dengan sepiring makan malam hangat, berlaukkan secuil mimpi dan sebutir harapan.
Ya, mereka semua tersesat disana.
Tanpa satupun juga bunyi alarm peringatan, atau sedikitnya beberapa rambu petunjuk jalan. Sehingga mereka setidaknya bisa melakukan antisipasi dini dengan melunasi semua tagihan dan hutang, menutup rekening di bank, menyumbangkan pakaian dan beramal. Atau, menulis sejumlah kartu ucapan terima kasih pada orang-orang terkasih.
Tidak.
Karena saat orang tersesat di titik nol kilometer, tak pernah tersedia fasilitas berupa sedikit waktu untuk pamit. Well, lebih tepatnya, tidak tersedia layanan fasilitas apapun di titik nol kilometer. Tidak ada restoran atau kafetaria. Tidak ada toilet. Tidak ada internet. Tidak ada apotek. Tidak ada klinik. Tidak ada motel. Tidak ada wartel.
Bahkan kalaupun kamu kebetulan bawa ponsel, tetap saja tak ada hal berguna yang bisa dilakukannya selain dilempar sebagai rongsokan usang. Karena tak ada sedikitpun juga sinyal kehidupan di titik nol kilometer. Jadi, sampai baterai ponsel kamu kosong, silakan bersumpah serapah sampai puas. Dan saat nanti kehabisan suara, kamu bisa duduk manis, menikmati alunan rekaman musik, iklan, dan serial pendek yang terekam dalam ponsel kamu. Mencoba mencecap sedikit kenikmatan hidup yang seketika terasa begitu mahal dan langka, karena kini hanya tinggal berumur sekian jam saja.
Dalam situasi yang nyaris membuat gila seperti ini, apalagi yang bisa dilakukan selain belajar bicara? Jadi memang itulah cara yang dilakukan semua orang yang tersesat di titik nol kilometer ini demi mengisi hampa.
Dimulai dengan memecahkan es keheningan yang licin, menggunakan satu sapaan sederhana. Kemudian berlanjut dengan sesi tanya jawab dan sharing pengalaman. Dan setelah beberapa jam melayang, voila!, setiap jiwa yang tersesat ini seketika merasa punya teman senasib sepenanggungan.
Lalu mereka pun mulai berburu makanan bersama. Bahu-membahu mempelajari tumbuhan mana yang bisa dimakan, menyiapkan jebakan, mengumpulkan kayu bakar untuk menyulut api unggun, mematok tenda sederhana dari dedaunan.
Merasa aman.
******
Waktupun menguap ke udara.
Sebagian orang telah sukses beradaptasi. Sebagian orang yang sudah merasa kelewat nyaman, bahkan sampai mendirikan pondok permanen dan mencoba menyambung hidup dengan bercocok tanam. Mereka tebasi dedaunan lebar yang menghalangi sinar matahari selama ini. Dengan rajinnya, mereka membolak-balik tanah agar gembur. Tak lupa mereka sirami setiap benih agar nantinya bisa tumbuh subur.
Yang membuat orang-orang ini belajar untuk kembali menyunggingkan sebuah senyuman. Sekaligus juga belajar untuk kembali punya ambisi, agar bisa makan sesuap mimpi waktu panen nanti.
Tak hanya itu, mereka juga menikahi satu sama lain. Dan setelah melewati sejumlah pesta pernikahan dan perayaan kelahiran bayi, kamu mulai berpikir bahwa kehidupan kembali bernafas di titik nol kilometer. Meski denyutnya masih kelewat lemah, tapi toh setidaknya sudah cukup stabil. Dan kamu mulai punya gagasan, bahwa mungkin, mungkin orang-orang ini tak lagi perlu diselamatkan.
Toh bertahun-tahun telah lewat. Toh mereka juga kini sudah tampak bahagia dan menikmati kehidupan mereka yang sekarang. Toh mereka juga mungkin sudah terlupakan, terhapus dari kenangan semua orang yang telah ditinggalkan. Jadi buat apa repot-repot menghubungi polisi dan regu penyelamat?
*****
Well, kabar baiknya adalah, kamu bukan yang pertama punya gagasan cemerlang itu, percayalah. Tapi kabar buruknya adalah, bahwa kamu salah. Kamu sama sekali salah.
Karena jauh di belantara pikiran dan keinginan mereka, orang-orang yang tersesat ini tetap rindu untuk pulang. Pada masakan Ibu yang masih hangat. Pada empuknya kasur. Pada nikmatnya membasuh diri di bawah pancuran.
Pada pelukan yang sudah bertahun-tahun lamanya diakrabi oleh bahu, lengan, dan dada sesak mereka yang resah. Pada ciuman mendamaikan di petang sepulang kantor. Pada cinta dari orang-orang terkasih, yang telah mereka tinggalkan. Pada dunia usang dan kumal, yang meski terus-menerus berotasi dengan porosnya yang aus dan karatan, ternyata tetap menjadi satu-satunya tempat yang paling ideal untuk sebuah bentuk kehidupan.
Jauh tersembunyi di belantara pikiran mereka, orang-orang yang tersesat ini sadar sepenuhnya bahwa mereka hanya sekedar berpura-pura betapa kehidupan mereka kembali berputar seperti sebagaimana mestinya.
Ya, mereka kembali bekerja. Ya, mereka kembali punya keluarga. Tapi betapa suami dan istri yang telah mereka nikahi ini tetap saja orang-orang asing. Bahwa pada dasarnya, diantara mereka hanyalah ada dua persamaan. Kebutuhan akan seks dan ketakutan akan ditinggalkan sendirian.
Jauh tersembunyi di belantara pikiran mereka, orang-orang ini tahu pasti rasanya hampa. Betapa pahitnya mencoba untuk tersenyum dan mengaku bahwa diri mereka baik-baik saja. Seperti satu ekspresi kaku dari topeng yang dipaku permanen di wajahmu. Dimana kamu masih bisa merasakan ujung-ujung paku yang karatan menggoresi bibir dan tulang pipi.
Sama getirnya dengan mencoba terdengar riang. Seolah-olah ada kaset lama yang diputar berulang-ulang di dalam kepalamu. Dimana pita kaset mulai keriting dan setiap 3 menit mengeluarkan suara melengking yang membuatmu seketika ingin mengiris-iris kuping.
Maka, jauh tersembunyi di belantara pikiran mereka, orang-orang inipun mulai bermimpi untuk mati. Betapa setiap malam, mereka akan pergi tidur dengan harapan agar tak terbangun lagi keesokan pagi.
Karena jauh tersembunyi di belantara pikiran mereka, ada gema yang berjalan mondar-mandir. Terus-menerus berucap dan mencacat betapa titik nol kilometer bahkan tidak pernah tercatat di skala ordinat peta kehidupan. Betapa semua orang di dunia normal menggunjingkannya, membuat asumsi, melakukan penelitian, menulis buku, membuat film, membuat talkshow.
Tapi tetap saja, hasilnya nihil. Tak pernah ada bukti otentik. Tak pernah ada petunjuk spesifik. Titik nol kilometer adalah satu titik kehidupan yang tak pernah teridentifikasi.
Karena itu, jauh tersembunyi di belantara pikiran orang-orang yang tersesat ini, diantara setiap jalinan cabang yang demikian rumitnya, mereka sadar bahwa kali ini, harapan sungguh-sungguh telah pergi.
Dan bahwa di titik nol kilometer, mereka semua, tersesat selamanya.
Tanpa pernah bisa kembali lagi.
Oleh: Retnadi Nur’aini
Titik nol kilometer tidak berupa sebuah menara.
Juga tidak berwujud sebuah tugu peringatan, dengan papan nama yang dipancang permanen, tempat orang-orang bisa berfoto bersama. Dimana nanti mereka bisa memajang foto mereka yang berbingkai perak dengan rasa bangga di ruang tamu, demi bisa menepuk dada dan berkata kepada setiap pengunjung temporernya “Oh ya, saya pernah kesana. Ke titik nol kilometer dunia.” Berusaha sekuat tenaga mengundang decak kagum dan antusiasme basa-basi di sela-sela dentingan cangkir teh dan kopi.
Bukan itu.
Karena sebenarnya, titik nol kilometer lebih berupa sebuah hutan. Atau tepatnya, sebuah rimba yang demikian luasnya, dimana akar-akar pohon tertua di dunia terurai seperti lebatnya rambut yang tumbuh di kepala. Sementara pohon-pohon berdaun lebar berlomba mencapai angkasa, saling sikut, saling dorong, saling sandung, saling libas, saling tebas, saling gilas, saling lindas, saling tepuk, saling tindih, saling tumpuk. Tapi juga sekaligus saling taut, saling pagut, saling rangkul, saling tarik, saling peluk.
Yang membuat kegelapan menjadi begitu pekatnya di titik nol kilometer. Karena setiap lembar daun yang lebar kelewat sibuk berkutat dalam hubungan cinta-benci mereka, tanpa pernah sekalipun bisa beranjak untuk pergi. Atau setidaknya menyingkir, menyilakan sedikit sinar matahari untuk mampir, agar bisa memerahkan permukaan tanah yang lembab, dan menghangatkan tulang-tulang yang bergemeletukan dari bibir-bibir yang tanpa henti mengepulkan uap.
******
Titik nol kilometer bukanlah satu objek wisata.
Orang tidak suka cita pergi ke sana untuk tamasya, dengan menumpang kapal feri di akhir pekan, menenteng keranjang piknik berisi setumpuk sandwich isi daging asap diolesi mustard, ditemani sebotol besar limun dingin.
Pada kenyataannya, justru banyak orang yang lupa bagaimana caranya mereka bisa mencapai titik nol kilometer. Sebagian mengaku, mereka sedang menyetir hidup mereka dengan kecepatan rata-rata—sekitar 60-70km/jam—untuk kemudian seketika tiba di titik nol kilometer. Sebagian bercerita bahwa mereka sedang menyetir hidup mereka dengan kecepatan tinggi—mungkin sekitar 270-300km/jam— dan wush!, mereka terbang ke sana. Ke titik nol kilometer, dimana kisah ngebut-nekat- rayakan-hidup- hari-ini milik mereka disimak dengan tekunnya oleh sekelompok orang yang bahkan tak punya kendaraan pribadi untuk mengendarai hidup mereka sendiri. Yang membuat kelompok ini terpaksa berdesakan setiap pagi dan petang dalam angkutan umum, bermandi peluh dan letih, dengan penghiburan mengenyangkan diri dengan sepiring makan malam hangat, berlaukkan secuil mimpi dan sebutir harapan.
Ya, mereka semua tersesat disana.
Tanpa satupun juga bunyi alarm peringatan, atau sedikitnya beberapa rambu petunjuk jalan. Sehingga mereka setidaknya bisa melakukan antisipasi dini dengan melunasi semua tagihan dan hutang, menutup rekening di bank, menyumbangkan pakaian dan beramal. Atau, menulis sejumlah kartu ucapan terima kasih pada orang-orang terkasih.
Tidak.
Karena saat orang tersesat di titik nol kilometer, tak pernah tersedia fasilitas berupa sedikit waktu untuk pamit. Well, lebih tepatnya, tidak tersedia layanan fasilitas apapun di titik nol kilometer. Tidak ada restoran atau kafetaria. Tidak ada toilet. Tidak ada internet. Tidak ada apotek. Tidak ada klinik. Tidak ada motel. Tidak ada wartel.
Bahkan kalaupun kamu kebetulan bawa ponsel, tetap saja tak ada hal berguna yang bisa dilakukannya selain dilempar sebagai rongsokan usang. Karena tak ada sedikitpun juga sinyal kehidupan di titik nol kilometer. Jadi, sampai baterai ponsel kamu kosong, silakan bersumpah serapah sampai puas. Dan saat nanti kehabisan suara, kamu bisa duduk manis, menikmati alunan rekaman musik, iklan, dan serial pendek yang terekam dalam ponsel kamu. Mencoba mencecap sedikit kenikmatan hidup yang seketika terasa begitu mahal dan langka, karena kini hanya tinggal berumur sekian jam saja.
Dalam situasi yang nyaris membuat gila seperti ini, apalagi yang bisa dilakukan selain belajar bicara? Jadi memang itulah cara yang dilakukan semua orang yang tersesat di titik nol kilometer ini demi mengisi hampa.
Dimulai dengan memecahkan es keheningan yang licin, menggunakan satu sapaan sederhana. Kemudian berlanjut dengan sesi tanya jawab dan sharing pengalaman. Dan setelah beberapa jam melayang, voila!, setiap jiwa yang tersesat ini seketika merasa punya teman senasib sepenanggungan.
Lalu mereka pun mulai berburu makanan bersama. Bahu-membahu mempelajari tumbuhan mana yang bisa dimakan, menyiapkan jebakan, mengumpulkan kayu bakar untuk menyulut api unggun, mematok tenda sederhana dari dedaunan.
Merasa aman.
******
Waktupun menguap ke udara.
Sebagian orang telah sukses beradaptasi. Sebagian orang yang sudah merasa kelewat nyaman, bahkan sampai mendirikan pondok permanen dan mencoba menyambung hidup dengan bercocok tanam. Mereka tebasi dedaunan lebar yang menghalangi sinar matahari selama ini. Dengan rajinnya, mereka membolak-balik tanah agar gembur. Tak lupa mereka sirami setiap benih agar nantinya bisa tumbuh subur.
Yang membuat orang-orang ini belajar untuk kembali menyunggingkan sebuah senyuman. Sekaligus juga belajar untuk kembali punya ambisi, agar bisa makan sesuap mimpi waktu panen nanti.
Tak hanya itu, mereka juga menikahi satu sama lain. Dan setelah melewati sejumlah pesta pernikahan dan perayaan kelahiran bayi, kamu mulai berpikir bahwa kehidupan kembali bernafas di titik nol kilometer. Meski denyutnya masih kelewat lemah, tapi toh setidaknya sudah cukup stabil. Dan kamu mulai punya gagasan, bahwa mungkin, mungkin orang-orang ini tak lagi perlu diselamatkan.
Toh bertahun-tahun telah lewat. Toh mereka juga kini sudah tampak bahagia dan menikmati kehidupan mereka yang sekarang. Toh mereka juga mungkin sudah terlupakan, terhapus dari kenangan semua orang yang telah ditinggalkan. Jadi buat apa repot-repot menghubungi polisi dan regu penyelamat?
*****
Well, kabar baiknya adalah, kamu bukan yang pertama punya gagasan cemerlang itu, percayalah. Tapi kabar buruknya adalah, bahwa kamu salah. Kamu sama sekali salah.
Karena jauh di belantara pikiran dan keinginan mereka, orang-orang yang tersesat ini tetap rindu untuk pulang. Pada masakan Ibu yang masih hangat. Pada empuknya kasur. Pada nikmatnya membasuh diri di bawah pancuran.
Pada pelukan yang sudah bertahun-tahun lamanya diakrabi oleh bahu, lengan, dan dada sesak mereka yang resah. Pada ciuman mendamaikan di petang sepulang kantor. Pada cinta dari orang-orang terkasih, yang telah mereka tinggalkan. Pada dunia usang dan kumal, yang meski terus-menerus berotasi dengan porosnya yang aus dan karatan, ternyata tetap menjadi satu-satunya tempat yang paling ideal untuk sebuah bentuk kehidupan.
Jauh tersembunyi di belantara pikiran mereka, orang-orang yang tersesat ini sadar sepenuhnya bahwa mereka hanya sekedar berpura-pura betapa kehidupan mereka kembali berputar seperti sebagaimana mestinya.
Ya, mereka kembali bekerja. Ya, mereka kembali punya keluarga. Tapi betapa suami dan istri yang telah mereka nikahi ini tetap saja orang-orang asing. Bahwa pada dasarnya, diantara mereka hanyalah ada dua persamaan. Kebutuhan akan seks dan ketakutan akan ditinggalkan sendirian.
Jauh tersembunyi di belantara pikiran mereka, orang-orang ini tahu pasti rasanya hampa. Betapa pahitnya mencoba untuk tersenyum dan mengaku bahwa diri mereka baik-baik saja. Seperti satu ekspresi kaku dari topeng yang dipaku permanen di wajahmu. Dimana kamu masih bisa merasakan ujung-ujung paku yang karatan menggoresi bibir dan tulang pipi.
Sama getirnya dengan mencoba terdengar riang. Seolah-olah ada kaset lama yang diputar berulang-ulang di dalam kepalamu. Dimana pita kaset mulai keriting dan setiap 3 menit mengeluarkan suara melengking yang membuatmu seketika ingin mengiris-iris kuping.
Maka, jauh tersembunyi di belantara pikiran mereka, orang-orang inipun mulai bermimpi untuk mati. Betapa setiap malam, mereka akan pergi tidur dengan harapan agar tak terbangun lagi keesokan pagi.
Karena jauh tersembunyi di belantara pikiran mereka, ada gema yang berjalan mondar-mandir. Terus-menerus berucap dan mencacat betapa titik nol kilometer bahkan tidak pernah tercatat di skala ordinat peta kehidupan. Betapa semua orang di dunia normal menggunjingkannya, membuat asumsi, melakukan penelitian, menulis buku, membuat film, membuat talkshow.
Tapi tetap saja, hasilnya nihil. Tak pernah ada bukti otentik. Tak pernah ada petunjuk spesifik. Titik nol kilometer adalah satu titik kehidupan yang tak pernah teridentifikasi.
Karena itu, jauh tersembunyi di belantara pikiran orang-orang yang tersesat ini, diantara setiap jalinan cabang yang demikian rumitnya, mereka sadar bahwa kali ini, harapan sungguh-sungguh telah pergi.
Dan bahwa di titik nol kilometer, mereka semua, tersesat selamanya.
Tanpa pernah bisa kembali lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar